Archive for the ‘ROHANI’ Category
SARUNE NI PARDISURGO by RETTA SITORUS
SARUNE NI PARDISURGO
LAM SOL SOL HUHILA
ALAI TONG TONG AU MANGIDO
AI SIAN GINJANG DO RO
SALPU HON MA HAHOLOMON
RO MA PANONDANG TIUR
SAI JALAHI HADAMEON
DUNGI SONANG SALUHUT
ARPASAI HULULUI
HUJALAHI TUHAN HU
TARPAIMA DI HO
LAS NI ROHA MA RO
SAI RO MA HO
RO MA HO SAI PALUA
DAO HOLSO HI
LAS NI ROHA MA RO
Dung Sonang Rohakku – ANUGERAH
Dung sonang ruha hu
dibahen Jesus i
porsuk pe hutaon di son
Na pos do roha hu
di Tuhan ta i
Dipasonang tong tong roha hon
Sonang do, sonang do,
dipasonang tongtong roha hon
Nang dihaliangi sibolis pe au
naeng agohonon na muse
naung mate Tuhan hu, mangolu ma au
Utang hi nuangnga sae sasude.
Sonang do, sonang do,
dipasonang tongtong roha hon
Diporsan Tuhan hu
sandok dosa hi
bolong tu na dao do dibaen
Nang sada naso jujuron na bei
na martua tondi hu nuaeng
Sonang do, sonang do,
dipasonang tong tong roha hon
Mata Baru, Semangat Baru
Tulisan ini di-unduh dari salah satu note seorang motivator St. Jansen Sinamo. Penting untuk dilihat karena mencakup beberapa sejarah yang ada di tanah batak. semoga beliau berkenan dengan pengu-unduhan secara sepihak, tanpa meminta persetujuan. Namun karena nilai yang terkandung didalamnya yang membuat saya berani melakukannya:)/
Pertengahan Juni 2007 yang lalu saya berkunjung lagi ke Balige, kota kecil di ujung tenggara Danau Toba. Saya bermaksud mengikuti puncak acara peringatan 100 tahun gugurnya Sisingamangaraja XII, yang tewas di ujung bedil Belanda pada 17 Juni 1907. Sebagai Sekjen Yayasan Pencinta Danau Toba dulu saya kerap bolak-balik ke danau ini. Namun kunjungan kali ini berbeda. Dulu saya melihat daerah ini dengan mata ekologi dan geologi. Kali ini saya melihatnya dengan mata sejarah.
Dengan mata ekologi saya tak putus takjub dengan fenomena alam Danau Toba. Geologi menakrifkan danau ini terbentuk sekitar 75.000 tahun lalu tatkala Gunung Toba purba meletus sambil menghamburkan 800 km kubik material ke angkasa. Bandingkan dengan Gunung St. Hellens, Pinatubo, dan Tambora yang masing-masing cuma melontarkan 0.2, 4, dan 20 km kubik saja. Letusan Gunung Toba adalah salah satu ledakan terdahsyat yang pernah terjadi di bumi, nyaris memusnahkan umat manusia. Kaldera yang ditinggalkannya itulah yang kemudian menjadi Danau Toba, 110 km panjangnya membujur miring dari barat laut ke tenggara.
Selama 10.000 tahun selanjutnya, magma terus mendorong—meski tak lagi sanggup bikin ledakan—lalu mendongkrak kulit bumi sehingga menggembung di atas muka danau: dan hatta, lahirlah pulau Samosir!
Ribuan tahun selanjutnya bekas-bekas ledakan kolosal itu hilang perlahan oleh tutupan vegetasi dan kemudian menghutan lalu berganti rupa menjadi situs ekologi yang biru dan hijau, subur dan cantik menawan, seperti yang dengan menggetarkan dikidungkan Nahum Situmorang.
Kemudian, di sekitar abad ke-14 atau 15, beberapa rombongan manusia merambah naik ke kawasan ini, bermukim di sana, lalu menjadi sebuah masyarakat yang kini disebut sebagai orang Batak. Saya tak putus-putus mensyukuri temuan alam para nenek moyang itu yang menjadi situs ekologis kelahiran jutaan putera-puteri Batak: banyak yang jenderal dan profesor, guru dan pendeta, politikus dan birokrat, seniman dan intelektual, pengusaha dan pengacara, sopir dan kondektur; termasuk dinasti Sisingamangaraja yang bertahta di Bakara, dan tentu: saya sendiri juga.
Dari ketinggian bukit makam resmi pahlawan itu saya memandangi Balige dan sekitarnya. Saya mengingat ulang kisah perjuangan Sisingamangaraja XII: khususnya episode pertempuran Bahal Batu yang pertama. Saya bayangkan ribuan pasukan Batak bertempur di pallagan Balige itu dengan bedil-bedil sederhana melawan pasukan Belanda yang telah bersenjata otomatis bahkan bermeriam. Dengan menunggang Sihapaspili, kuda putihnya, Raja Batak yang masih belia itu tampil gagah ke medan laga. Namun sungguh sial, bahu kirinya tertembak. Ia kalah, lalu mundur teratur. Namun sejak itu, selama 30 tahun ia terus melawan secara gerilya dari hutan-hutan kawasan barat daya Danau Toba. Tetapi, akhirnya ia tewas pada 1907 mempertahankan kebebasannya, kedaulatan negerinya, dan martabat bangsanya. Saat tafakur mengheningkan cipta di depan makam Soposurung itu, tanpa bisa dicegah air mata saya merembes deras: terharu, bersyukur, dan bangga sekaligus. ***
Dari ketinggian surga sana Allah melihat dunia. Ia menyaksikan derita manusia. Mata yang penuh belas kasihan itu tidak tahan lalu mengutus putera-Nya yang tunggal. Sang putera itu kemudian mengundang manusia: ”Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.”Begitulah mata Tuhan melihat Anda dan saya. Ia tahu derita dan sedih-pedih kita. Ia melihat dan menunggu kita. Mari datang dan berlabuh di haribaan-Nya. Ia tahu harapan dan rindu-cita kita. Ia melihat dan menunggu kita. Mari memandang, datang, dan berharap akan rahmat-Nya.
Mari memakai mata Tuhan sebagaimana Abraham melihat dengan mata Tuhan. Meski janji Tuhan tampak mustahil, namun Abraham tidak bimbang. Ia memutuskan melihat kondisi hidupnya sebagaimana Tuhan melihatnya. Ia percaya dan terus menanti penuh iman akan janji-Nya.
Mari memakai mata Tuhan sebagaimana Daud melihat dengan mata Tuhan. Meski jauh-jauh hari telah diurapi Samuel, namun prospek menjadi raja tampaknya justru mustahil sementara ia malah jadi buronan raja Saul yang makin tua makin menderita neurosis. Namun Daud tidak bimbang. Ia memutuskan melihat kondisi hidupnya sebagaimana Tuhan melihatnya. Ia percaya dan menanti penuh perjuangan akan janji-Nya.
Ketika saya melihat dan menghayati Danau Toba sebagai medan laga bagi pejuang-pejuang Batak melawan Belanda, maka Sisingamangaraja XII menjadi riil di hati saya. Saya rasakan ia begitu dekat, menghayati emosi dan pikirannya, dan terinspirasi olehnya. Karenanya, saya lebih mencintai Tanah Batak [dan Indonesia] yang diperjuangkannya.
Ketika saya melihat hidup saya dengan mata Tuhan sebagaimana Tuhan melihatnya: bahwa Ia sedang bekerja di dalam dan melalui diri saya, maka Tuhan begitu riil di hati saya, sehingga sukacita, keberanian, serta semangat baru melimpah ruah dari dalam jiwa saya.
Terimakasih Tuhan, Engkau sungguh baik, bisik saya mantap, dengan wajah sumringah!
Trio Santana
Mereka (Trio Santana) bisa menjawab sekaligus merubah pendapat dan pola pikir banyak kalangan artis/pengamat, bahwa sebuah trio agar bisa tenar dan bisa bertahan lama diminati pendengar 1), harus utuh atau tidak gonta ganti pasangan, 2). harus mempunyai hits lagu (artinya mereka yang pertama mempopulerkan lagu tersebut) agar dapat dikenang dan menjadi bahan pembicaraan, 3). Salah satu dari personil trio tersebut sebaiknya dapat mencipta lagu (dalam artian masuk dalam nominasi bukan karena ada nepotisme).
Personil Trio Santana pertama muncul adalah terdiri dari : Gun Silalahi, Sudi Silalahi dan Joan Polado Sitorus, khusus nama terakhir ini disadari atau tidak, apabila dia membuat satu trio selalu sukses ironisnya setelah dia meninggalkan group tersebut, beliau mengundurkan diri dari Trio Santana setelah mereka menyelesaikan 2 album dan nama Trio Santana membumbung sampai ketingkat atas dalam peredaran vcd/kaset. Sebut saja sebelum dia masuk dalam Trio Santana, dia adalah orang pertama yang membidani berdirinya Trio Andesta (Joan Polado Sitorus, Benget (Ari) Manurung dan Goodwill Pakpahan), kemudian setelah dia menginggalkan Trio Santana dia berhasil membawa satu trio yakni Labarata (Joan Polado Sitorus, Toni Simarmata dan William Naibaho) dan sungguh mencengangkan penjualan album mereka mampu bersaing dengan trio trio papan atas walaupun keberadaan mereka silent artist tanpa banyak shouw dan publikasi seperti yang lainnya. Setelah itu dia kembali membentuk trio baru dengan nama 3 Marga (Joan Polado Sitorus, Johny Manurung dan William Naibaho), suatu saat saya akan menulis khusus nama beliau ini sebagai rasa simpati yang dalam.
Trio Santana belum dan hampir tidak pernah mempopulerkan sebuah lagu dari pertama sekali lagu itu dicipta sang pencipta (seperti Trio Ambisi dengan Unang Ahu Solsoli), namun mereka banyak suskes menyanyikan lagu yang tadinya tidak begitu populer dibawakan oleh group lain, tetapi setelah mereka menyanyikannya kembali dengan aransemen baru, tak diduga lagu tersebut bisa terkenal dan nama merekalah yang tercatat sebagai yang berhasil. Tercatat beberapa lagu yang cukup diminati anak anak muda beberapa waktu yang lalu, Andung Andung Anak Siampudan, Sigura Gura, Au do Nahusolsoli, Arbab, Pujima Debata, dan banyak lagu yang tidak dapat saya hafal yang membawa mereka menjadi populer sampai sekarang ini. Tapi secara jujur diakui bahwa formasi vocal mereka dalam dunia rekaman cukup memukau. Suatu ketika ada yang bertanya kepada sang penata vocal mereka yakni Tigor Panjaitan (personil Trio Maduma), apakah Trio Maduma tidak khawatir apabila eksistensi mereka tersingkirkan oleh keberadaan Trio Santana, karena formasi vocal yang mereka bawakan hampir sama persis, perbedaannya sedikit diantara Trio Maduma dan Trio Santana, Trio Maduma mempunyai suara alto (suara dua) yang dominan dan tidak dapat membawakan lagu lagu solo yang warna vocal lengkingan tinggi, tapi Trio Santana ada keunikan, justru Sudi Silalahi yang mempunyai lengkinang tinggi itu dimasukkan dalam formasi alto, namun tiba pada saat pengambilan vocal solo yang tinggi dia diberikan tempat karena personil mereka yang ditugaskan untuk suara tiga (dalam koor) tidak dapat melakukannya dengan baik, karena lengkingan suaranya falset atau yang biasa disebut kill.
Hampir tidak ada personil Trio Santana yang dianggap mampu untuk mencipta lagu yang terbilang tenar, memang ada satu dua yang mereka ciptakan dalam album mereka sendiri, tapi belum dapat mensejajarkan mereka dengan keberadaan personil Trio Lamtama Hady Rumapea dengan beberapa lagu hitsnya.
Namun jika diamati, ada beberapa hal yang harus dicermati dari keberadaan Trio Santana, Produser mereka mungkin melihat kelemahan yang sedang dialami trio ini, hampir beberapa album belakangan ini mereka tidak berhasil mengangkan pasar mereka seperti peredaran kaset/vcd mereka sebelum sebelumnya. Maka terjadilah perubahan nyata, bahwa trio ini sepertinya dikhususkan untuk membawa lagu lagu rohani dan natal, karena jauh pamor dengan Trio Lamtama dalam blantika lagu lagu batak, kebetulan produser yang menangani Trio Santana adalah sama juga yang memiliki Trio Lamtama dalam dunia kaset/vcd.
Album terakhir yang dibawakan oleh Trio Santana (Unang Parsanggul Bane Bane) merupakan contoh kegagalan group ini dipasaran, bila diamati dari dekat hampir tidak ada perbedaan formasi vocal dan gambar yang terjadi tetapi terdapat perbedaan drastis penjualan kaset/vcdnya.
Personil Trio Santana (Gun Silalahi, Sudi Silalahi dan Edward Sitohang)
bersambung………….
Gomos Hutangiang hon
Huida bohi ni Pandita hi
Las roha hi
Marhusor dibagasan
Aha ma barita sibegeon hi?.
horas,